Ridho Suami Adalah Ridho Allah

 suami-cium-istri

ilustrasi

Ridho Suami Mengantarkanku Mendapat Beasiswa S2

=============================

Oleh :  Rokhaniah Hanie

Beasiswa S2 yang aku dapatkan, akhirya harus kubayar dengan LDR dengan suami dan dua anak lelakiku. Purworejo-Malang, bukan jarak yang dekat, yah, meski tidak juga terlalu jauh karena masih terjangkau dengan kereta dan mobil. Tetapi, perpisahan inilah, yang memang terkadang membuatku sering menitikkan air mata.

***

Hari ini adalah hari terberat bagiku, aku harus meninggalkan keluarga. Pergi ke kota Malang untuk menjalani hari-hariku sebagai mahasiswa penerima beasiswa S2 P2TK Dikdas Kemendiknas. Waktu itu anakku yang paling besar, Fiqi masih kelas III SD, anak kedua Qisthan masih TK kecil, dan yang terakhir Aisya baru berumur 5 bulan. Mereka masih sangat butuh sentuhan kasih orangtua yang lengkap. Mengingat itu, hatiku kembali nyeri. Ya Allah … kuat! Kuat!

Waktu keberangkatan pun tiba. Aku, dengan lisan bismillah membulatkan tekad untuk menjalani takdir ke Malang. Dengan diantar anak dan suami, hati yang telah bergetar hebat, kucoba tegar, setegar karang.

Bahkan, bude yang biasa mengasuh Aisya pun tidak tega ikut mengantar. Beliau memang sudah kuanggap sebagai keluarga, dan tentu beliau pun merasa kehilangan Aisyah yang saat itu masih bayi (karena Aisyah aku bawa ke Malang)

Perjalanan dengan mobil pun dimulai dengan doa bepergian yang diucapkan anak-anak dengan riang. Bahkan, Fiqi anak pertamaku memimpin acara membaca doa dengan suara ceria, belum ada kesedihan di wajah anak-anak.

Dengan menyebut asmamu ya Allah, aku berserah diri. Tidak ada daya dan kekuatan selain dari Allah semata. Riang anakku berdoa.

Aku memandang suami dengan banyak kata yang tertahan. Banyak kalimat yang ingin kuucapkan, tetapi hatiku menahannya karena harus memperhatikan perasaan anak-anak. Mereka sedang ceria, apa iya, aku tega membahas perpisahan? 

Suamiku membalas tatapanku, tetapi ia pun hanya tersenyum dan beralih fokus pada canda ceria anak-anak.

***
Lima belas jam telah lewat, hingga pada akhirnya aku dan keluarga sampai di Kota Malang. Orang pertama yang menyambut kami adalah, Ibu Lilik dan suaminya, Pak Dodi. Bu Lilik adalah teman satu pengajianku sewaktu di Kutoarjo. 

MasyaAllah, termasuk rezeki adalah mendapat saudara seiman yang baik hati. Dari beliau berdua, kami disewakan penginapan dan disuguhi berbagai macam makanan. Bahkan, ketika mencari rumah kos, kami pun ditemani beliau supaya tidak nyasar. 

Rezeki bertambah ketika, Pak Dodi dan istri membayarkan uang muka kos, dan tidak mau aku ganti padahal jumlahnya tidak sedikit. Maka nikmat Allah yang manakah, yang engkau dustakan? Sungguh Allah Maha Pemurah, Maha pemberi rezeki. Kembali, mataku berarir. Menetes lagi, air mata untuk kesekian kali.

Kami pun ditakdirkan bertemu dengan pemilik kos yang bernama Ibu Nuryati. Pada masa-masa yang akan datang, selama hampir 1,5 tahun, beliau inilah yang dipilih Allah untuk menjadi perantara kemurahan-Nya.

Banyak kebaikan beliau yang kemudian aku dan si kecil Aisya rasakan. Seperti saat itu, saat Aisyah sakit dan aku bingung karena tidak ada kerabat, Ibu Nur, aku memanggilnya, sungguh menjadikanku seperti anaknya sendiri.

Mengantarkan ke rumah sakit. menyiapkan makanan, mengasuh Aisyah, bahkan ikut menunggui di saat-saat Aisyah rewel. Aku sungguh tidak tahu harus bagaimana, jika tidak ada beliau. Ya Allah, semoga Engkau lapangkan rezeki beliau dan barokahkanlah umur dan rezekinya. 


***

Setelah mendapat kos, aku dan suami beserta anak-anak berkemas dan menginap selama 2 hari. Selama dua hari itu, aku coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Kampus tempat kuliah, daerah seitar kos, dan pastinya beramah tamah dengan orang-orang sekitar.

Tibalah saat suami dan anak-anak harus kembali ke Kota Purworejo. Dadaku bergejolak, tiba-tiba mataku perih dan kembali lagi, aku menangis. Air mata bercucuran tanpa bisa kucegah. Baru saja aku seka, air itu kembali mengucur.

“Umi, aku mau sama Aisyah,” ucap Qisthan, anakku yang kedua tidak mau berpisah dengan adiknya, Aisyah. 

“Qisthan, besok boleh kok, kalau mau ketemu adik,” ucapku di sela air mata. “Sekarang Qisthan pulang dulu ya, sama abi.”

“Enggak, mau! Aku pokoknya mau sama adik!”

Aku diam dan hanya air mata yang terus menetes. Akhirnya, suamiku membujuk Qisthan. Suami bilang, Qisthan akan dapat mainan jika mau pulang. Ia juga akan dibelikan jajanan dan es krim. Pokoknya, suami membujuk supaya anak keduaku mau pulang.

Segera setelah Qisthan mau diajak pulang, suamiku membopongnya masuk ke mobil. Aku, melambaikan tangan dengan tetap berderai air mata.

Kini aku menjalani hari-hariku bersama si kecil Aisyah dan keluarga baruku, Bu Nur dan suaminya, Pak Jan serta Mbak Lia anak mereka. Aku jadi teringat kisah Siti Hajar yang ditinggal oleh Nabi Ibrahim di tengah padang pasir yang gersang. Kisah itulah yang kemudian menguatkanku untuk menjalani hari-hari di sini. 

Aku malu pada Siti Hajar yang ditinggal Nabi Ibrahim tanpa perbekalan yang cukup. Dan dia masih tegar, masih bisa menjadi ibu yang kuat bagi Ismail. Sedangkan aku, sudah mencukupi diri dengan bekal untuk hidup merantau, ada HP yang bisa menghubungi keluarga saat kangen, ada ATM yang akan diisi suami jika uang habis, masih saja aku menangis. Padahal juga, banyak di antara teman-teman yang menginginkan beasiswa ini. Banyak sekali bahkan. Dan akulah yang dipilih untuk menerima. Aku menjadi sedikit terhibur. Ya Allah, ampuni aku yang tidak bersyukur.

***

“Mbak Hani, sarapan!” Panggil Ibu kosku. 

“Nggih Bu!” Jawabku sambil keluar kamar. 

“ Nopo matane abing ngunu kui ?” Tanya ibu kosku dengan logat Malang yang  khas. “ Mesthi sik nangis wae yo!” Wis rasah sedih-sedih, ana Ibu karo Bapak neng kene. Ngko takewangi momong Aisyah, Bu Siti kae ketoke yo iso momong. Ngko taktembungke.” Kata Ibu Nur membesarkan hatiku. 

“ Nggih Bu, maturnuwun sanget” Jawabku sambil menggendong Aisyah. 

Kene Aisya takgendonge, kono sarapan dhisik bar kui kudu budhal kampus to?” Kata Ibu sambil meminta Aisya dari gendonganku. 

Baru sehari aku tinggal bersama Bu Nur, namun aku sudah merasakan kebaikan hati mereka. Kami bukan saudara, sebelumnya kami pun belum pernah bertemu. Namun, mereka sangat berbaik hati padaku. 

Pagi ini adalah hari pertama aku ke kampus. Alhamdulillah, Alloh banyak memberikan kemudahan pada kami. Anakku, Aisya sudah ada yang mengasuh, Ibu Siti namanya. Beliau adalah tetangga Ibu Nur. Selama nge-kos aku tidak perlu masak sendiri ataupun beli makanan keluar karena Ibu kosku sudah menyediakan makan sekalian. Bahkan ketika ke kampus pun aku diantar Pak Jan, suami Bu Nur. Aku diantar Pak Jan selama masa orientasi kampus karena aku belum hafal jalan – jalan di sekitar kampus UM Malang. Aku seperti menemukan keluarga baru di Malang. Alhamdulillah Alloh pertemukan aku dengan orang-orang yang baik. 

Kampus, kos, kampus, kos. Hari-hariku hanya berkutat pada dua tempat itu. Tetapi bagiku, dua tempat itulah paling berharga buatku. Di kampus ada cita-cita yang sedang aku kejar. Cita-cita menjadi pendidik yang lebih mumpuni. Cita-cita ingin menuntut ilmu agar menjadi hamba yang mengamalkan perintah Allah agar menjadi muslim yang berilmu. Sedang di kos ada keluarga. Orang-orang yang aku sayangi. Orang yang membuatku kuat untuk bertahan di Malang dengan waktu relatif lama yaitu satu setengah tahun. 

Setelah kurang lebih tiga semester aku menjalani hari-hari sebagai mahasiswa yang penuh dengan suka dan duka, akhirnya sampai di perjalanan terakhirku sebagai mahasiswa, yaitu membuat tesis. 

Saat tesis inilah, aku diserang sakit hingga menggigil. Tapi, alhamdulillah sakitku yang ini, posisi di Purworejo sehingga aku tidak terlalu merepotkan keluarga yang ada di Malang. Aku pun opname di rumah sakit daerah Purworejo. Mungkin, karena lelah fisik dan mentalku karena kangen. Jadi, begitu aku bertemu dengan keluarga, daya tahanku langsung ambruk. Lepas sudah beban dalam hati dan pikiranku.

Satu kejadian yang masih aku ingat, saat maju untuk ujian tesis. Orang yang biasa momong Aisyah sudah mendapat pekerjaan di sekolah dasar sebagai juru masak. Akhirnya, aku ujian tesis sambil membawa Aisyah.

Syukur pada Allah, dosen pengujiku tidak melarang. Bahkan, beliau-beliau memberi apresiasi kepadaku. Mengatakan bahwa aku hebat karena bisa menyelesaikan S2 sambil membawa bayi. Bertambah haru, saat nilai ujianku keluar.

“Selamat, nilai anda cumlaud!”

Aku gembira luar biasa. Sepertinya, tubuhku ringan sekali sampai ingin melayang. Bahagia tiada terkira. dan puncak kebahagiaan aku rasakan ketika wisuda dengan didampingi suami, anak-anak dan kedua orang tuaku. Satu yang selalu kucatat dalam hati, ternyata masih banyak orang baik di sekitar kita, ini adalah bukti kasih sayang Allah. Juga sebuah kegembiraan yang datang dari kerelaan suami untuk ditinggal. Ridho suami adalah ridho Allah.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Ridho Suami Adalah Ridho Allah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel