4 Mitos tentang Belajar Bilingual

 



 

Beberapa keluarga tumbuh dengan anak-anak bilingual. Mereka fasih berkomunikasi dengan bahasa Ibunya dan tidak gagap menggunakan bahasa kedua.
 
Ya, membesarkan anak dengan dua bahasa sebetulnya punya banyak manfaat. Selain manfaat di bidang pergaulan sosial, anak-anak bilingual juga diketahui memiliki fugsi kognitif yang lebih baik.
 
Namun, banyak orang tua yang khawatir untuk mengajarkan anaknya bahasa kedua segera sejak masih balita. Hal ini dikarenakan banyaknya informasi dan mitos yang menyebutkan bahwa mengajarkan dua bahasa punya dampak yang tidak baik. Beberapa masalah yang sering disebut berkaitan dengan bilingualisme adalah kebingungan anak-anak dan keterlambatan bicara. Benarkah demikian?
 
Berikut fakta berdasarkan pendapat para pakar:
 
Mitos 1:   “Anak-anak yang diajarkan dua bahasa akan kebingungan dan bahasanya malah campur aduk.”
FaktanyaDr. Erika Hoff, Ph.D., pengajar psikologi perkembangan sekaligus pakar bahasa serta bilingualisme di Florida Atlantic University, Florida, AS, mengatakan bahwa anak-anak yang belajar dua bahasa akan mencampuradukkan bahasa yang mereka ketahui. “Tetapi, itu tidak menunjukkan kebingungan. Itu justru pertanda kemampuan bahasa,” ujarnya.
                     
Di samping itu, menurut Barbara Zurer Pearson, penulis buku Raising a Bilingual Child mengatakan bahwa “mencampuradukkan bahasa” ini terjadi juga karena faktor lingkungan. Pearson mengatakan, “Mengharapkan anak Anda untuk tidak melakukannya sementara ia tinggal di dalam lingkungan di mana mencampuradukkan bahasa adalah hal yang umum, adalah hal yang tidak realistis.” Menurutnya, anak-anak mencontoh apa yang mereka lihat dan dengar.
                                    
Mitos 2: “Katanya belajar bahasa kedua sejak kecil akan lebih memudahkan. Tapi kosakatanya, kok, sedikit?”
Faktanya: Mungkin sepintas asumsi tersebut terlihat benar. Namun coba hitung jumlah kosakatanya di dua bahasa tersebut. Menurut  Hoff, seorang anak yang belajar dua bahasa awalnya akan memiliki kosakata yang lebih sedikit pada masing-masing bahasa dibandingkan dengan anak yang hanya mempelajari satu bahasa. Namun, bila dijumlahkan, kosa kata di dua bahasa tersebut akan sebanding dengan anak-anak yang monolingual. Misal, anak monolingual bisa menyebutkan 2000 kata. Sedangkan, anak bilingual bisa menyebutkan 1000 kata Bahasa Indonesia dan 1000 Bahasa Mandarin.
 
Mitos 3: “Belajar dua bahasa menyebabkan speech delay.”
Faktanya: Menurut Dr. Janet F. Werker, pengajar psikologi di University of Britis  Columbia, Vancouver, Canada, mengatakan bahwa hal tersebut hanyalah mitos. Menurutnya, beberapa anak yang dibesarkan dalam dua bahasa memerlukan waktu lebih lama untuk mulai berbicara daripada yang dibesarkan dalam keluarga dengan satu bahasa. Namun, penundaan itu bersifat sementara dan tidak selalu terjadi.
 
Bahkan menurut Ellen Stubbe Kester, presiden Bilinguistics, yang menawarkan layanan bahasa bilingual di Austin, Texas, AS, mengatakan, “Bahkan jika anak Anda telah didiagnosis dengan beberapa jenis keterlambatan bicara, membesarkannya dalam dua bahasa tidak akan membuat kemampuan bicaranya jadi lebih lambat.” Menurutnya, anak-anak yang tumbuh di lingkungan bilingual dengan keterlambatan bahasa tetap akan mendapatkan kemampuan berbahasa pada tingkat yang sama dengan anak-anak yang berada di lingkungan monolingual.
 
Mitos 4: “Anak saya usianya sudah lebih dari 3 tahun. Sudah terlambat menjadikannya bilingual.”
Faktanya: Tidak ada kata terlambat. Menurut Pearson, waktu yang paling optimal untuk mengajarkan bahasa kedua adalah untuk anak di bawah 3 tahun. Bahkan bila usia anak Anda sudah lebih tua dari itu, tetap belum terlambat. Pearson menjelaskan bahwa waktu terbaik kedua untuk mengajarkannya adalah antara usia 4 dan 7 tahun. Sementara waktu terbaik ketiga adalah sekitar usia 8 tahun hingga pubertas.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "4 Mitos tentang Belajar Bilingual"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel